Jumat, 26 Juli 2013

Sejarah Kete Kesu



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Berbicara mengenai Suku Toraja tentu dalam benak kita terbayang sebuah etnik suku yang memiliki rumah panggung besar dengan atap menyerupai moncong perahu dan upacara adatnya yang melibatkan banyak orang untuk terlibat dan reputasinya pada hari ini telah mengarungi banyak negara. Daya tarik yang berasal dari khasanah kebudayaannya, arsitektur tradisional yang inspiratif serta kaya makna, dan keagungan prosesi adatnya menjadikan Tana Toraja memiliki nilai-nilai tersendiri yang pada hari ini banyak diminati oleh wisatawan untuk mengunjungi daerah tersebut. Hal ini diperkuat dengan kearifan lokal yang nilai-nilainya masih dijalankan oleh masyarakat sekitar Tana Toraja. Suku Tana Toraja yang pada hari ini masih mendiami daerah pegunungan masih mempertahankan gaya hidup Austronesia yang asli dan cenderung memiliki kemiripan dengan budaya yang ada di Nias.
Pada hari ini diperkirakan populasi masyarakat suku toraja telah mencapai sekitar satu juta jiwa. Sekitar 50% dari total jumlah masyarakat Suku Toraja masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja dan kabupaten tetangga seperti Kabupaten Toraja Utara dan Kabupaten Mamasa sisanya banyak masyarakat yang berasal dari Suku Toraja yang kini telah menetap di kota-kota lainnya di Sulawesi dan tidak sedikit juga yang merantau keluar Sulawesi. Kepercayaan yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Toraja adalah Kristen. Sementara sebagian ada yang menganut agama Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal dengan Aluk To Dolo.
1
Berbicara mengenai kepercayaan animisme yang dimiliki Suku Toraja. Aluk To Dolo memiliki makna sebagai kesadaran bahwasannya keberadaan manusia hidup di bumi pada hakikatnya hanyalah untuk sementara. Prinsip ini ditanamkan sedemikian kuatnya yang mana pada akhirnya menjadi pondasi utama kepercayaan asli masyarakat Toraja. Sebagai penguat pemahamannya bahwasannya selama tidak ada orang yang bisa menahan matahari terbenam di ufuk barat, kematian pun mutlak keberadaannya dan tidak bisa ditunda kedatangannya.
Secara historis banyak yang meyakini bahwa Suku Toraja berasal dari Teluk Tongkin yang berada di daratan cina. Seorang Anthtropolog bernama DR.C. Cyrut meyakini bahwa masyarakat Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk lokal Sulawesi Selatan atau pribumi dengan pendatang dari teluk tongkin tersebut. Berawalnya akulturasi antara masyarakat pribumi dengan pendatang ini dari berlabuhnya imigran indo cina dengan jumlah yang dapat dikatakan cukup banyak di sekitar hulu sungai yang pada hari ini diperkirakan letak lokasinya berada di daerah Kabupaten Enrekang. Bangsa cina yang memang dikenal akan kebiasaannya bermigrasi segera membangun pemukiman di daerah tersebut untuk kemudian membangun sebuah peradaban baru.
Nama Toraja sendiri sebenarnya merupakan kata dari Bahasa Bugis yaitu to riaja yang mana berarti “orang yang berdiam di negeri atas”. Identitas mereka yang pada hari ini kita ketahui bernama Toraja merupakan pemberian dari perintah kolonial belanda yang memberikan nama itu pada tahun 1909. Versi lain menyebutkan bahwasannya kata Toraja awal mulanya bernama toraya. Kata tersebut merupakan gabungan dari dua kata yaitu “to” yang berarti orang dan “raya” yang berasal dari kata maraya yang berarti besar. Artinya jika digabungkan menjadi suatu padanan makna orang-orang besar atau bangsawan. Seiring dengan berputarnya roda kehidupan lama-lama penyebutan nama Toraya berubah menjadi Toraja. Sementara itu kata Tana yang berada di depan kata Toraja memiliki arti sebuah negeri. Sehingga pada hari ini tempat pemukiman Suku Toraja dinamai Tana Toraja atau negeri tempat orang-orang besar berada.
Sebelum masuknya pengaruh kolonial Belanda dan kristenisasi, di Tana Toraja memiliki sebuah pakem yang cukup jelas mengenai identitas diri mereka sebagai sebuah kelompok. Suku Toraja yang tinggal di daerah dataran tinggi memiliki sebuah identitas pengenalan diri yang diklasifikasikan bedasarkan asal desa mereka dan satu sama lain tidak merasa sama jika mereka bukan berasal dari kelompok desa yang sama. Meskipun ritual-ritual yang diadakan di tiap desa identik dan menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam segi dialek, hierarki sosial, dan macam-macam praktik ritual di daerah tersebut.
Pemberian nama Toraja banyak diduga mulanya merupakan pemberian oleh suku bugis Sindengreng dan Luwu. Orang dari Suku Sindengreng menamakan penduduk daerah yang bermukim di daerah dataran tinggi dengan sebutan to riaja yang berarti “orang yang berdiam di pegunungan” sementara orang-orang yang berasal dari suku bugis luwu menyebutnya dengan to riajang yang memiliki arti “orang yang berdiam di sebelah barat”.

B.  Gambaran Umum
Tana Toraja terletak di tengah-tengah pulau Sulawesi, salah satu pulau besar berbentuk bintang laut di antara Pulau Kalimantan (Borneo) dan Papua, Indonesia.
1.    Geografis
Melihat Suku Toraja sejenak Secara geografis, Komunitas Suku Toraja bertempat tinggal pada pegunungan di bagian utara sulawesi selatan. Lebih spesifik pada letaknya, Suku Toraja terletak di kabupaten Tana Toraja yang terletak dalam satuan kepemerintahan Provinsi Sulawesi Selatan yang mana memiliki ibukota bernama Makale. Pada tahun 2007 kabupaten ini memiliki jumlah populasi sebanyak 248.607 jiwa. batas-batas geografis Kabupaten Tana Toraja di utara berbatasan dengan Kabupaten Mamuju, dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Luwu, lalu pada sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Enkerang, sementara pada sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Mamasa.
Berada pada zona waktu indonesia tengah, Secara klimatologi Kabupaten Tana Toraja termasuk kedalam daerah yang beriklim Tropis Basah. Hal ini secara kasar bisa kita ketahui melihat letak keberadaan tempat yang berada di daerah pegunungan. Dalam segi temperatur udara, suhu di Tana Toraja berkisar antara 150 c – 280 c dengan kelembaban udara yang berkisar antara 82 – 86 %. Curah hujan rata-rata di Tana Toraja berada pada kisaran 1500 mm/thn sampai lebih dari 3500 mm/thn.
2.    Iklim & Cuaca
Tana Toraja beriklim tropis. Musim hujan terjadi pada bulan Oktober - Maret sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan April - September. Perubahan iklim dunia dan pengaruh pemanasan global sedikit mempengaruhi pola iklim di Tana Toraja dalam satu dekade terakhir, namun pola dan masa tanam padi yang hampir seluruhnya mengandalkan air hujan tetap belum berubah. Curah hujan tertinggi biasanya terjadi pada Desember hingga Januari. Terdapat juga daerah yang hampir selalu terselimuti kabut sepanjang hari di perbatasan dengan daerah Teluk Bone.
3.    Fauna & Flora
Anoa, babi rusa, dan burung maleo adalah binatang khas pulau sulawesi, namun hanya babi rusa dan anoa yang sempat dicatat pernah ditemukan di Toraja. Itupun saat ini sulit memastikan keberadaan satwa langka tersebut di wilayah Tana Toraja. Orang toraja beternak babi, ayam kampung, dan kerbau dimana terdapat varietas kerbau belang (albino) yang hingga saat ini dipercaya hanya lahir dan besar di Tana Toraja. Burung elang, bangau, dan kakaktua juga pernah hidup bebas di Tana Toraja namun kini populasinya semakin terancam.

C.  Fokus Objek yang Diteliti
Kete’ Kesu merupakan wisata pavorit terletak di provinsi Sulawesi Selatan kawasan kabupaten Toraja. Kelompok 1 memfokuskan penelitian di kampung Kete’ Kesu yaitu: Upacara pemakaman (rante),  area kuburan, area pemukiman yang terdiri dari rumah Tongkonan (rumah adat suku Toraja), ekonomi, persepsi dan perilaku masyrakat setempat serta agama yang berperan di Toraja.

D.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan objek yang diteliti, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.    Bagaimana seluk beluk kampung Kete’ Kesu?
2.    Bagaimana sejarah kampung Kete’ Kesu?
3.    Bagaimana persepsi masyarakat terahadap kampung Kete’ Kesu?
4.    Apa hubungan antara objek wisata dengan faktor ekonomi, budaya, Nasional, agama dan Politik Nasional.?



















BAB II
PEMBAHASAN
A.      Seluk Beluk Kete’ Kesu
Kete’ Kesu adalah suatu desa wisata di kawasan Tana Toraja yang dikenal karena adat dan kehidupan tradisional masyarakat dapat ditemukan di kawasan ini.Di dalam Kete Kesu terdapat peninggalan purbakala berupa kuburan batu yang diperkirakan berusia 500 tahun lebih. Di dalam kubur batu yang menyerupai sampan atau perahu tersebut, tersimpan sisa-sisa tengkorak dan tulang manusia. Hampir semua kubur batu diletakkan menggantung di tebing atau gua. Selain itu, di beberapa tempat juga terlihat kuburan megah milik bangsawan yang telah meninggal dunia.
Terletak 4 km di bagian tenggara Rantepao, Kete Kesu terdiri dari padang rumput dan padi yang mengelilingi rumah adat Tana Toraja, yaitu Tongkonan. Sebagian rumah adat yang terletak di desa ini diperkirakan berumur sekitar 300 tahun dan letakknya berhadapan dengan lumbung padi kecil.[4] Tidak hanya terdiri dari 6 Tongkonan dan 12 lumbung padi, Kete Kesu juga memiliki tanah seremonial yang dihiasi oleh 20 menhir. Di dalam salah satu Tongkonan terdapat museum yang berisi koleksi benda adat kuno Toraja, mulai dari ukiran, senjata tajam, keramik, patung, kain dari Cina, dan bendera Merah Putih yang konon disebutkan merupakan bendera pertama yang dikibarkan di Toraja. Selain itu, di dalam museum ini juga terdapat pusat pelatihan pembuatan kerajinan dari bambu.[6] Masyarakat yang hidup di desa ini umumnya memiliki keahlian sebagai pemahat dan pelukis, sehingga selain sebagai objek wisata, tempat ini juga dimanfaatkan untuk menjual berbagai pahatan dan suvernir tradisional Toraja.
6
Desa Kete Kesu merupakan kawasan cagar budaya dan pusat berbagai upacara adat Toraja yang meliputi pemakaman adat yang dirayakan dengan meriah (Rambu Solo), upacara memasuki rumah adat baru (Rambu Tuka), serta berbagai ritual adat lainnya. Pada bulan Juni - Desember, berbagai upacara dan perayaat adat umumnya dilakukan oleh masyarakat sekita di lokasi ini. Beberapa makam adat di Kete Kesu telah ditutup dengan jeruji besi untuk mencegah pencurian patung jenazah adat (tau-tau). Beberapa jenazah dapat dilihat jelas dari luar bersama dengan harta yang dikuburkan di dalamnya. Peti mati tradisional (erong) yang terdapat di desa ini tidak hanya berbentuk seperti perahu, namun juga ada yang berbentuk kerbau dan babi dengan pahatan atau ukiran yang menghiasi.

B.       Sejarah Kete’ Kesu
Kete Kesu terletak di Desa Bonoran, sekitar 4 kilometer dari Kota Rantepao, Tana Toraja , Sulawesi Selatan. Upacara adat sering digelar di desa ini. Tempat ini ditetapkan sebagai cagar budaya oleh UNESCO. Mengapa bisa ditetapkan sebagai cagar budaya? Tentu karena Kete Kesu punya keunikan budaya yang tak dimiliki tempat lain dan wajib dilestarikan.
Kete Kesu memang unik. Begitu memasuki perkampungan, berderet tongkonan dan alang sura yang saling berhadapan. Tongkonan adalah rumah adat Toraja, sedangkan alang sura merupakan lumbung padi. Tongkonan-tongkonan di Kete Kesu memiliki ukiran yang indah. Tanduk kerbau berderet di depannya, menandakan tingginya status sosial si pemilik rumah.
Tongkonan dan alang sura dimiliki secara turun temurun. Tongkonan-tongkonan di Kete Kesu sudah tua, bahkan ada yang diperkirakan berumur sekitar 300 tahun. Atapnya yang terbuat dari susunan bambu sudah ditumbuhi rumput liar. Namun, pemiliknya sengaja tidak membersihkannya. Rumput ini bisa berguna untuk mencegah kebocoran dari air hujan.
Selain deretan tongkonan dan alang sura, kita juga bisa melihat ukiran dan pahatan patung di Kete Kesu. Beberapa penduduk desa memang ahli mengukir dan memahat patung. Mereka juga terbiasa membuat tau-tau , patung yang digunakan untuk upacara pemakaman dalam adat Toraja. Mereka juga sering menggunakan keahlian untuk mengukir peti mati dan rumah adat. Di belakang deretan tongkonan, ada kompleks pemakaman yang berdinding batu kapur. Konon, makam-makam tua di sini berumur hingga 700 tahun. Tulang-tulang dan tengkorak berserakan di dalam gua dan di sekitar pemakaman. Peti-peti mati atau erong dipahat menyerupai bentuk perahu, kerbau, dan babi. Ada juga patene atau makam modern yang berbentuk rumah-rumahan. Puluhan tau-tau yang membisu, terkunci di dalam sebuah ruangan khusus. Kalau tidak dikunci, ada saja orang yang berniat jahat dan mencuri tau-tau itu.
Kete Kesu memang salah satu warisan Toraja yang istimewa. Kete Kesu telah menyimpan banyak cerita tentang budaya Toraja.

C.      Persepsi dan Perilaku Masyarakat Terhadap Kete’ Kesu
Secara sadar atau tidak sadar, masyarakat toraja hidup dan tumbuh dalam sebuah tatanan masyarakat yang menganut filosofi tau. Filosofi tau dibutuhkan sebagai pegangan dan arah menjadi manusia (manusia="tau" dalam bahasa toraja) sesungguhnya dalam konteks masyarakat toraja. Filosofi tau memiliki empat pilar utama yang mengharuskan setiap masyarakat toraja untuk menggapainya, antara lain: - Sugi' (Kaya) - Barani (Berani) - Manarang (Pintar) - Kinawa (memiliki nilai-nilai luhur, agamis, bijaksana) Keempat pilar di atas tidak dapat di tafsirkan secara bebas karena memiliki makna yang lebih dalam daripada pemahaman kata secara bebas. Seorang toraja menjadi manusia yang sesungguhnya ketika dia telah memiliki dan hidup sebagai Tau.
Masyarakat suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelum penjajahan Belanda dan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan sebagai kelompok yang sama. Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di kawasan dataran tinggi Sulawesi. "Toraja" (dari bahasa pesisir to, yang berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran tinggi. Akibatnya, pada awalnya "Toraja" lebih banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang luar, seperti suku Bugis dan suku Makassar, dan suku Mandar yang menghuni sebagian besar dataran rendah di Sulawesi daripada dengan sesama suku di dataran tinggi. Kehadiran misionaris Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di Tana Toraja. Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama suku Bugis (meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan pelaut), suku Mandar (pedagang, pembuat kapal dan pelaut), dan suku Toraja (petani di dataran tinggi).

D.      Hubungan Antara Objek Wisata dengan Faktor Ekonomi, Budaya Nasional, Agama, dan Politik Nasional
Adapun hubungan antara Objek Wisata dengan berbagai faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan suku Toraja akan kami jelaskan di bawah ini.
1.    Faktor Ekonomi
Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja bergantung pada pertanian dengan adanya terasering di lereng-lereng gunung dan bahan makanan pendukungnya adalah singkong dan jagung. Banyak waktu dan tenaga dihabiskan suku Toraja untuk berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara pengorbanan dan sebagai makanan. Satu-satunya industri pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja.Dengan dimulainya Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai berkembang dan membuka diri pada investasi asing. Banyak perusahaan minyak dan pertambangan Multinasional membuka usaha baru di Indonesia. Masyarakat Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang berpindah untuk bekerja di perusahaan asing. Mereka pergi ke Kalimantan untuk kayu dan minyak, ke Papua untuk menambang, dan ke kota-kota di Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini terjadi sampai tahun 1985.
Kebanyakan masyarakat Toraja hidup sebagai petani. Komoditi andalan dari daerah Toraja adalah sayur-sayuran, kopi, cengkeh, cokelat dan vanili. Pereknonomian di Tana Toraja digerakkan oleh 6 pasar tradisional dengan sistem perputaran setiap 6 hari. Ke-enam pasar yang ada ialah:
1)   Pasar Makale
2)   Pasar Rantepao
3)   Pasar Ge'tengan
4)   Pasar Sangalla'
5)   Pasar Rembon
6)   Pasar Salubarani

2.    Budaya Nasional
Toraja ditetapkan sebagai cagar budaya oleh UNESCO. Mengapa bisa ditetapkan sebagai cagar budaya? Tentu karena Kete’ Kesu mempunyai keunikan budaya yang tak dimiliki tempat lain dan wajib dilestarikan.
a.    Rumah Adat Toraja (Kete’ Kesu)
Toraja tidak pernal lepas dari perbincangan masyrakat tentang budaya mereka yang ditinjau dari rumah adat Toraja. Di bawah ini kami akan menjelaskan aspek-aspek yang menjadi kesimpulan kami tentang rumah adat Toraja dari segi apa itu tongkonan, bagaimana dan apa struktur dan bahan bangunan rumah tongkonan serta bagaimana ornament warna dan ukiran rumah adat Toraja.
1)    Tongkonan
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja (Kete’ Kesu) yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja (Kete’ Kesu) tongkon ("duduk").
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja (Kete’ Kesu). Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja (Kete’ Kesu) oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut cerita rakyat Toraja (Kete’ Kesu), tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja (Kete’ Kesu) turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.
Rumah Tongkonan dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:
a)    Kolong (Sulluk Banua)
b)   Ruangan rumah (Kale Banua)
c)    Atap (Ratiang Banua), bentuknya melengkung mirip tanduk kerbau. Pada sisi sebelah barat dan timur bangunan terdapat jendela kecil untuk sirkulasi udara dan masuknya cahaya matahari.
Latar belakang arsitektur Rumah Tradisional Toraja (Kete’ Kesu) berkaitan dengan falsafah kehidupan yang merupakan landasan dari kebudayaan orang Toraja (Kete’ Kesu) itu sendiri. Dalam pembangunan Rumah Adat Tongkonan ada hal-hal yang mengikat atau hal yang di haruskan dan tidak boleh di langgar, yaitu: Rumah harus menghadap ke utara, letak pintu di bagian depan rumah, dengan keyakinan bumi dan langit merupakan satu kesatuan dan bumi dibagi dalam 4 penjuru mata angin, yaitu:
a)    Utara disebut Ulunna langi, yang paling mulia di mana Puang Matua berada (keyakinan masyarakat Toraja (Kete’ Kesu))
b)   Timur disebut Matallo, tempat metahari terbit, tempat asalnya kebahagiaan atau kehidupan.
c)    Barat disebut Matampu, tempat metahari terbenam, lawan dari kebahagiaan atau kehidupan, yaitu kesusahan atau kematian.
d)   Selatan disebut Pollo’na langi, sebagai lawan bagian yang mulia, tempat melepas segala sesuatu yang tidak baik / angkara murka

2)   Struktur dan Bahan Bangunan Rumah Tongkonan
Kayu yang digunakan adalah kayu Uru, jenis kayu lokal dari Sulawesi. Kualitasnya sangat baik dan kayu tersebut banyak ditemui di hutan-hutan.
Pada umumnya sistem struktur yang dipakai untuk bangunan Tongkonan adalah sistem konstruksi pasak (knock down)
Beberapa keistimewaan tongkonan di Ke’te’ Kesu’ adalah:
a)    Katik, bagian depan bentuknya agak berbeda yaitu bentuknya panjang dan ramping.
b)   Sedangkan tiang kolom, untuk tongkonan yang tertua berjumlah 7 buah, berjajar pada bagian lebar bangunan. Tiang kolom pada alang seluruhnya berjumlah 8 buah, dengan 2 kolom berjajapada bagian lebar bangunan dan 4 kolom ke arah belakang/ bagian panjang bangunan.
c)    Bangunan/Tongkonan yang tertua mempunyai struktur bangunan yang lebih rendah daripada tongkonan yang baru dengan bentuk tiang kolom empat persegi.
Bentuk dari Tongkonan dapat dibagi menjadi:
a)    Bagian kolong rumah (sulluk banua)
(1)      Pondasi: pondasi yang digunakan adalah dari batuan gunung, diletakkan bebas di bawah Tongkonan tanpa pengikat antara tanah, kolom dan pondasi itu sendiri.
(2)      Kolom/tiang (a’riri): tiang terbuat dari kayu uru, sedangkan untuk alang digunakan kayu nibung, sejenis pohon palem. Bentuk kolomnya persegi empat, pada alang bentuknya adalah bulat. Perbedaan bentuk tersebut menunjukkan perbedaan dari fungsi bangunan, yaitu Tongkonan untuk manusia, sedangkan alang untuk barang (padi). Penggunaan kayu nibung dimaksudkan agar tikus tidak dapat naik ke atas, karena serat kayu ini sangat keras dan sapat sehingga terlihat licin.
(3)      Balok: sebagai pengikat antara kolom-kolom digunakan balok-balok, dengan fungsi seperti sloof, yang dapat mencegah terjadinya pergeseran tiang dengan pondasi. Hubungan balok dengan kolom digunakan sambungan pasak, disini tidak dipergunakan sambungan paku/baut. Bahan yang digunakan adalah kayu uru. Jumlah baloknya ada 3 buah, sedangkan pada alang hanya 1 buah, yaitu sebagai pengikat pada bagian bawah. Tangga menggunakan kayu uru.



b)   Bagian Badan rumah
(1)      Lantai: pada Tongkonan terbuat dari papan kayu uru yang disusun di atas pembalokan lantai. Disusunya pada arah memanjang sejajar balok utama. Sedangkan untuk alang terbuat dari kayu banga.
(2)      Dinding: pada Tongkonan dinding disusun satu sama lain dengan sambungan pada sisi-sisi papan dengan pengikat utama yang dinamakan Sambo Rinding. Dinding yang berfungsi sebagai rangka menggunakan kayu uru atau kayu kecapi. Sedangkan dinding pengisinya menggunakan kayu enau.

c)    Bagian kepala
(1)      Atap: pada Tongkonan terbuat dari bambu-bambu pilihan yang disusun tumpang tindih yang dikait oleh beberapa reng bambu dan diikat oleh tali bamboo/rotan. Fungsi dari susunan demikian adalah untuk mencegah masuknya air hujan melalui celah-celahnya. Fungsi lain adalah sebagai ventilasi, karena pada Tongkonan tidak terdapat celah pada dindingnya. Susunan bambu di taruh di atas kaso yang terdapat pada rangka atap. Susunan tampak (overstek) minimal 3 lapis, maximal 7 lapis, setelah itu disusun atap dengan banyak lapis yang tidak ditentukan, hanya mengikuti bentuk rangka atap sehingga membentuk seperti perahu. Fungsi dari Tolak Somba adalah untuk menunjang/menopang agar Longa tidak runtuh/turun. Sangkinan Longa adalah sebagai keseimbangan dari Longa. Semakin panjang Longanya maka jumlah Sangkinan Longanya pun semakin banyak.
(2)      Dinding: susunanya seperti dinding pada bagian kepala badan.

d)   Bagian Tata Ruang Dalam
Pola tata ruang dalam pada badan rumah (Kale Banua) pada Tongkonan di Kete’ terbagi atas 3 ruang utama. Ruang-ruang tersebut mempunyai fungsi sesuai dengan urutan daru Utara ke Selatan, masing-masing:
(1)      Tangdo: ruang ini terletak di sebelah Utara berfungsi sebagai ruang tidur nenek, kakek, dan anak laki-laki. Ruang ini terletak di Utara karena pengawasan terhadap anggota keluarga lebih terjaga. Orang tua/kakek-nenek sebagai orang yang dituakan. Jendela pada ruang Tangdo berjumlah 2 buah yang menghadap Utara. Peil lantai pada ruang Tangdo sama dengan ruang sumbung dan tidak terdapat ornamen.
(2)      Sali: ruang ini terletak di tengah bangunan yang berfungsi sebagai ruang tamu, dapur, wc, tempat/ruang persemayaman jenazah, dan ruang keluarga Ruang Sali: yang diperbolehkan masuk hanya kerabat dekat dari keluarga dan tetua-tetua adat. Pada ruang Sali ini dindingnya berwarna hitam, disebabkan oleh jelaga yang timbul pada waktu memasak dan asap yang berasal dari tungku, jelaga ini bermanfaat sebagai bahan pengawet kayu.
(a)      WC: terbuat dari batu yang berbentuk oval dan agak cekung, lalu diberi lubang, terletak di sebelah Timur, di samping kanan tungku. WC ni berfungsi untuk buang air kecil bagi ibu-ibu dan anak-anak di malam hari.
(b)     Ruang persemayaman jenazah: ruang Sali ini berfungsi juga sebagai ruang persemayaman jenazah di letakan disini menunggu urusan yang ditinggalkan si mati selesai.
(c)      Peletakkan pintu masuk di sebelah Utara atau Timur karena nenek moyang mereka berasal/dating dari arah Utara, juga arah angin yang dating selalu dari arah Utara, Utara mempunyai arti kebaikan. Pintu yang terletak disebelah Timur mempunyai arti kebahagiaan dan keceriaan disesuaikan dengan arah terbitnya matahari, dari sebelah timur. Fungsi pintu selain sebagai tempat keluar masuk manusia/penghuni juga dipakai sebagai jalan keluar bagi jenazah pada saat pemakaman.
(d)     Sumbung: fungsinya sebagai ruang tidur orang tua dan anak-anak yang masih menyusui serta anak-anak gadis, dan tempat menyimpan alat-alat serta harta pusaka. Peil lantai ditinggikan, yang menandakan bahwa penghuni Tongkonan mempunyai kekuasaan dan derajat yang tinggi pada wilayah tersebut. Sumbung berada di Selatan karena anak gadis dan anak yang masih kecil perlu pengawasan yang ketat, dengan perlindungan dari anak laki-laki yang bertempat di Tangdo dan orang tua.


3)   Ornamen dan Warna
Motif-motif ornament pada bangunan Toraja (Kete’ Kesu) mengambil bentuk-bentuk dasar: hewan, tumbuhan dan benda langit, demikian pula di Kete’ Kesu’ ini.
a)    Motif hewan melambangkan kekuatan dan kekuasaan, contoh: Ayam jantan: berkokok jam 5 pagi melambangkan kehidupan dan kepala kerbau: menunjukan prinsip yang kokoh.
b)   Motif tumbuhan melambangkan kemakmuran, contoh: Lumut: menandakan sawah sebagai sumber kehidupan
c)    Motif benda langit melambangkan kekuasaan Tuhan, contoh: Matahari: sebagai sumber cahaya (terang) dalam kehidupan
Sedangkan warna dasar (kasemba) terdiri dari 4 warna, yaitu:
a)    Merah: berani berkorban
b)   Kuning: keagungan
c)    Hitam: berani berbuat baik
d)   Putih: mandiri
Jumlah motif ornament yang umum digunakan sekarang kurang lebih 74 jenis, akrena motif-motif yang lain dianggap terlalu berat untuk digunakan/diamalkan. Contoh: Pa Kadang Sepru (beras) melambangkan putusnya hubungan kekerabatan.

4)   Ukiran kayu
Ukiran kayu Toraja (Kete’ Kesu): setiap panel melambangkan niat baik. Untuk menunjukkan kosep keagamaan dan sosial, suku Toraja (Kete’ Kesu) membuat ukiran kayu dan menyebutnya Pa'ssura (atau "tulisan"). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja (Kete’ Kesu).
Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan. Gambar kiri memperlihatkan contoh ukiran kayu Toraja (Kete’ Kesu), terdiri atas 15 panel persegi. Panel tengah bawah melambangkan kerbau atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel tengah melambangkan simpul dan kotak, sebuah harapan agar semua keturunan keluarga akan bahagia dan hidup dalam kedamaian, seperti barang-barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas dan kanan atas melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja keras, seperti hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil yang baik.
Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja (Kete’ Kesu) (lihat desain tabel di bawah), selain itu ukiran kayu Toraja (Kete’ Kesu) juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar dari ornamen Toraja (Kete’ Kesu), karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang teratur.[21] Ornamen Toraja (Kete’ Kesu) dipelajari dalam ethnomatematika dengan tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun suku Toraja (Kete’ Kesu) membuat ukiran ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri. Suku Toraja (Kete’ Kesu) menggunakan bambu untuk membuat oranamen geometris.

b.    Upacara Pemakaman
Dalam masyarakat Toraja (Kete’ Kesu), upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja (Kete’ Kesu) tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah. Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja (Kete’ Kesu) percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.

1)   Sebuah Makam
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". Suku Toraja (Kete’ Kesu) percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.

2)   Upacara Pemakaman Rambu Solo
Rambu Solo adalah upacara adat kematian masyarakat Tana Toraja (Kete’ Kesu) yang bertujuan untuk menghormati dan mengantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam  roh, yaitu kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah  tempat peristirahatan, disebut dengan Puya, yang terletak di bagian  selatan tempat tinggal manusia. Upacara ini sering juga disebut upacara  penyempurnaan kematian. Dikatakan demikian, karena orang yang meninggal baru dianggap benar-benar meninggal setelah seluruh prosesi upacara ini digenapi. Jika belum, maka orang yang meninggal tersebut hanya dianggap sebagai orang  “sakit” atau “lemah”, sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya orang  hidup, yaitu dibaringkan di tempat tidur dan diberi hidangan makanan dan  minuman, bahkan selalu diajak berbicara.
Oleh karena itu, masyarakat setempat menganggap upacara  ini sangat penting, karena kesempurnaan upacara ini akan menentukan posisi  arwah orang yang meninggal tersebut, apakah sebagai arwah gentayangan (bombo), arwah yang mencapai tingkat dewa (to-membali puang), atau menjadi dewa  pelindung (deata). Dalam konteks ini, upacara Rambu Solo menjadi  sebuah “kewajiban”, sehingga dengan cara apapun masyarakat Tana Toraja (Kete’ Kesu) akan  mengadakannnya sebagai bentuk pengabdian kepada orang tua mereka yang meninggal  dunia.
Kemeriahan upacara Rambu Solo ditentukan  oleh status sosial keluarga yang meninggal, diukur dari jumlah hewan yang  dikorbankan. Semakin banyak kerbau disembelih, semakin tinggi status sosialnya.  Biasanya, untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau yang disembelih berkisar antara  24-100 ekor, sedangkan warga golongan menengah berkisar 8 ekor kerbau ditambah  50 ekor babi. Dulu, upacara ini hanya mampu dilaksanakan oleh keluarga bangsawan. Namun seiring dengan perkembangan ekonomi, strata sosial tidak lagi  berdasarkan pada keturunan atau kedudukan, melainkan berdasarkan tingkat  pendidikan dan kemampanan ekonomi. Saat ini, sudah banyak masyarakat Toraja (Kete’ Kesu)  dari strata sosial rakyat biasa menjadi hartawan, sehingga mampu menggelar  upacara ini.
Bagi masyarakat Tana Toraja (Kete’ Kesu), orang yang sudah meninggal tidak dengan sendirinya mendapat gelar orang mati. Bagi mereka sebelum terjadinya upacara Rambu Solo’ maka orang yang meninggal itu dianggap sebagai orang sakit. Karena statusnya masih ‘sakit’, maka orang yang sudah meninggal tadi harus dirawat dan diperlakukan layaknya orang yang masih hidup, seperti menemaninya, menyediakan makanan, minuman dan rokok atau sirih.
Hal-hal yang biasanya dilakukan oleh arwah, harus terus dijalankan seperti biasanya. Jika keluarga si mati itu belum mampu melaksanakan upacara Rambu Solo, jenazah itu akan disimpan di tongkonan (rumah adat Toraja (Kete’ Kesu)) sampai pihak keluarga mampu menyediakan hewan kurban untuk melaksanakan upacara tersebut. Penyimpanan jenazah itu bisa memakan waktu bertahun-tahun.
Setelah pihak keluarga mampu menyediakan hewan kurban tersebut, barulah Rambu Solo dilaksanakan. Jenazah dipindahkan dari rumah duka ke tongkonan tammuon (tongkonan pertama tempat dia berasal). Di sana dilakukan penyembelihan 1 ekor kerbau sebagai kurban atau dalam bahasa Toraja (Kete’ Kesu)nya Ma’tinggoro Tedong, yaitu cara penyembelihan khas orang Toraja (Kete’ Kesu), menebas kerbau dengan parang dengan satu kali tebasan saja. Kerbau yang akan disembelih ditambatkan pada sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batu. Setelah itu, kerbau tadi dipotong-potong dan dagingnya dibagi-bagikan kepada mereka yang hadir.
Jenazah berada di tongkonan pertama (tongkonan tammuon) hanya sehari, lalu keesokan harinya jenazah akan dipindahkan lagi ke tongkonan yang berada agak ke atas lagi, yaitu tongkonan barebatu, dan di sini pun prosesinya sama dengan di tongkonan yang pertama, yaitu penyembelihan kerbau dan dagingnya akan dibagi-bagikan kepada orang-orang yang berada di sekitar tongkonan tersebut.
Seluruh prosesi acara Rambu Solo’ selalu dilakukan pada siang hari. Siang itu sekitar pukul 11.30 Waktu Indonesia Tengah (Wita), kami semua tiba di tongkonan barebatu, karena hari ini adalah hari pemindahan jenazah dari tongkonan barebatu menuju rante (lapangan tempat acara berlangsung). Jenazah diusung menggunakan duba-duba (keranda khas Toraja (Kete’ Kesu)). Di depan duba-duba terdapat lamba-lamba (kain merah yang panjang, biasanya terletak di depan keranda jenazah, dan dalam prosesi pengarakan, kain tersebut ditarik oleh para wanita dalam keluarga itu).
Prosesi pengarakan jenazah dari tongkonan barebatu menuju rante dilakukan setelah kebaktian dan makan siang. Barulah keluarga dekat arwah ikut mengusung keranda tersebut. Para laki-laki yang mengangkat keranda tersebut, sedangkan wanita yang menarik lamba-lamba.
Dalam pengarakan terdapat urut-urutan yang harus dilaksanakan, pada urutan pertama kita akan lihat orang yang membawa gong yang sangat besar, lalu diikuti dengan tompi saratu (atau yang biasa kita kenal dengan umbul-umbul), lalu tepat di belakang tompi saratu ada barisan tedong (kerbau) diikuti dengan lamba-lamba dan yang terakhir barulah duba-duba.
Jenazah tersebut akan disemayamkan di rante (lapangan khusus tempat prosesi berlangsung), di sana sudah berdiri lantang (rumah sementara yang terbuat dari bambu dan kayu) yang sudah diberi nomor. Lantang itu sendiri berfungsi sebagai tempat tinggal para sanak keluarga yang datang nanti. Karena selama acara berlangsung mereka semua tidak kembali ke rumah masing-masing tetapi menginap di lantang yang telah disediakan oleh keluarga yang sedang berduka.
Iring-iringan jenazah akhirnya sampai di rante yang nantinya akan diletakkan di lakkien (menara tempat disemayamkannya jenazah selama prosesi berlangsung). Menara itu merupakan bangunan yang paling tinggi di antara lantang-lantang yang ada di rante. Lakkien sendiri terbuat dari pohon bambu dengan bentuk rumah adat Toraja (Kete’ Kesu). Jenazah dibaringkan di atas lakkien sebelum nantinya akan dikubur. Di rante sudah siap dua ekor kerbau yang akan ditebas.
Setelah jenazah sampai di lakkien, acara selanjutnya adalah penerimaan tamu, yaitu sanak saudara yang datang dari penjuru tanah air. Dilanjutkan dengan hiburan bagi para keluarga dan para tamu undangan yang datang, dengan mempertontonkan ma’pasilaga tedong (adu kerbau). Bukan main ramainya para penonton, karena selama upacara Rambu Solo’, adu hewan pemamah biak ini merupakan acara yang ditunggu-tunggu.
Selama beberapa hari ke depan penerimaan tamu dan adu kerbau merupakan agenda acara berikutnya, penerimaan tamu terus dilaksanakan sampai semua tamu-tamunya berada di tempat yang telah disediakan yaitu lantang yang berada di rante. Sore harinya selalu diadakan adu kerbau, hal ini merupakan hiburan yang digemari oleh orang-orang Tana Toraja (Kete’ Kesu) hingga sampai pada hari penguburan. Baik itu yang dikuburkan di tebing maupun yang di patane’ (kuburan dari kayu berbentuk rumah adat).

c.    Musik dan Tarian
Suku Toraja (Kete’ Kesu) melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat.

3.    Agama
Agama dalam suku Toraja dapat diambil pengertian dari dua aspek yaitu perseps dan pandangan masyarakat serta Dekrit Presiden:
a)    Persepsi dan Pandangan Masyrakat
  Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk, atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan  tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan  Puang Matua, dewa pencipta. Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah.Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana.
Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian),  Indo'  Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.
Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian. Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.

b)   Dekrit Presiden
Pada tahun 1930-an. Konflik tidak luput menyelimuti tana toraja yang mana kali ini melibatkan penduduk muslim yang bertempat tinggal di daerah dataran rendah dengan para penduduk toraja. Akibat dari insiden ini banyak orang toraja yang memilih untuk beraliansi dengan pemerintah kolonial belanda guna meraih kemenangan atas penduduk muslim yang notabenenya juga merupakan terhitung sebagai musuh belanda pada masa itu. akibat aliansi ini banyak penduduk toraja yang akhirnya memilih untuk mengganti kepercayaan mereka menjadi kristen dalam rangka meraih aliansi dengan belanda serta mendapat perlindungan politik supaya bisa melakukan perlawanan balik terhadap orang-orang bugis dari Makassar yang bergama Islam.
Pada periode antara tahun 1951 sampai 1965 setelah kemerdekaan indonesia Sulawesi Selatan mengalami kekacauan yang dipicu oleh pemberontakan Daarul Islam yang bertujuan untuk mendirikan negara islam di tanah Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut memiliki andil yang cukup besar mengapa perkembangan agama kristen di toraja semakin menunjukan peningkatan yang cukup signifikan.
Dekrit President yang diterbitkan pada tahun 1965 yang mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja (aluk to dolo) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekrit tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.

4.    Politik Nasional
Bidang politik di Tana Toraja mencakup desa tradisional maupun kehidupan perkotaan kontemporer dan mencakup upacara ritual dan strategi pembangunan tingkat kabupaten. Di suatu daerah dimana era kolonial berlangsung hanya empat dekade, di mana agama pribumi terus menjadi yang dominan, dan di mana prestise dan otoritas bangsawan bertahan sampai sekarang, ritual agama tradisional dan status hubungan mewarnai semua aspek dari masyarakat kontemporer (Crystal 1974, hal 121).
Kutipan ini berasal dari seorang antropolog Amerika yang mengaitkan situasi politik yang berlangsung pada awal tahun 1970-an di Tana Toraja, sebuah kabupaten atau distrik di provinsi Sulawesi Selatan. Setelah periode depoliticizing (pendepolitisasian) kebiasaan dan tradisi masyarakat setempat oleh rezim Orde Baru, maka ha itu tidak mengejutkan bahwa hukum desentralisasi di Indonesia tahun 1999 menyebabkan atau menimbulkan kebangkitan umum atas kebiasaan dan tradisi di Tana Toraja. Bahkan, adat (yang menunjukkan kebiasaan dan tradisi) menjadi faktor utama pada saat dimunculkannya undang-undang desentralisasi nasional yang harus dilaksanakan di kabupaten Tana Toraja pada tahun 2001. Pada tingkat desa, DPRD Tana Toraja mengeluarkan peraturan hukum yang menentukan reorganisasi wilayah dan struktur pemerintahan, yang bertujuan untuk melakukan pembentukan kembali lembang. Lembang, merupakan satuan politik dan administrasi pemerintah yang lebih besar dari desa di masa Orde Baru dan diduga telah ada sebelum pemerintahan kolonial Belanda muncul mendesain kembali sturuktur kembali pemerintahan daerah di Tanah Toraja. Lembang mencakup wilayah geografis dari sekelompok masyarakat karena ikatan generasi yang memiliki asal-usul leluhur yang sama dan berbagi seperangkat hukum sosial-budaya dan nilai-nilai serta bentuk tradisional organisasi pemerintahan. "Pelaksanaan unit otonom ini cukup jauh dalam mencapai upaya menggerakkan kaum elit tradisional - yang telah terpinggirkan oleh UU No 5 / 1974 dan UU No 5 / 1979 – dalam bentuk tindakan, ketika mereka mulai bersaing untuk suatu posisi kepemimpinan lembang.
Sejalan dengan "kembalinya batas-batas yang ditentukan oleh adat kebiasaan dan tradisi”, pada tingkat yang lebih tinggi, kelompok tertentu di Toraja telah berjuang untuk adanya subdivisi distrik Tana Toraja di sebuah distrik, yakni distrik utara, selatan dan barat. "Sekali lagi, pembagian ini diduga berhubungan dengan organisasi sosial politik tradisional yang ada sebelum kedatangan pemerintahan kolonial Belanda. Kebijakan desentralisasi politik dan pemerintahan di Tana Toraja diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2001 yang dikembangkan menjadi dua proses yang berlawanan kemunculannya yakni: penggabungan pada suatu tingkat desa (lembang) dan fragmentasi di tingkat kabupaten (Donzelli 2002/2003, hal 35).
Hal itu sebenarnya bukan yang pertama kalinya dalam sejarah Tana Toraja bahwa adat istiadat setempat dan bentuk tradisi pemikiran untuk revisi/perbaikan struktur wilayah dan struktur pemerintah. Karena Belanda telah mengambarkan wilayah Tana Toraja ke dalam wilayah administratif dan memperkenalkan organisasi pemerintahan yang modern pada awal tahun 1900, revisi struktur wilayah dan struktur pemerintah sebagian besar diikuti dengan perubahan sturuktur pemerintahan nasional dan kekuasaan daerah yang ditanamkan oleh system adat setempat. Meskipun tingkat integrasi adat ke dalam bidang politik mungkin telah berubah sepanjang satu abad lalu, kedua domain tersebut tidak pernah benar-benar terpisah dari satu sama lain (lihat Tabel 11.1).
Namun, sebuah sintesis yang memuaskan antara organisasi pemerintahan bentuk modern dan bentuk pemerintah tradisional tidak pernah dicapai di Tana Toraja. Upaya untuk memperkenalkan pemerintah daerah otonom dengan parlemen yang dipilih secara demokratis dalam sebuah hierarkis tradisional dan hierarkis sosial masyarakat yang bertingkat selalu gagal. Usaha ini berhasil dengan kebijakan-kebijakan yang lebih sentralistis dan kebijakan yang otoriter. Sebagai persoalan fakta, terus menjadi semacam dualisme administratif: di satu sisi, sistem pemerintahan disutradarai oleh undang-undang dan prinsip-prinsip yang diberikan oleh pemerintah pusat, dan di sisi lain, sistem pemerintahan tradisional yang didasarkan pada aturan adat dan peraturan. Oleh karena itu, dalam arena politik kabupaten, tokoh adat Toraja dan pengikut mereka telah bersaing dengan kelompok elit lainnya yang “baru lahir“ yang memperoleh kekuasaan sebagai wakil dari nasionalisme, sosialisme/komunisme atau konservatisme ideologis, atau melalui gereja, militer, atau hanya dengan dukungan uang. Seperti revisi teritori dan pemerintah, pelebaran dan penyempitan ruang manuver politik untuk masing-masing pihak yang tergantung pada kekuatan dan perubahan kebijakan di tingkat nasional.


















BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Secara sadar atau tidak sadar, masyarakat toraja hidup dan tumbuh dalam sebuah tatanan masyarakat yang menganut filosofi tau. Filosofi tau dibutuhkan sebagai pegangan dan arah menjadi manusia (manusia="tau" dalam bahasa toraja) sesungguhnya dalam konteks masyarakat toraja. Filosofi tau memiliki empat pilar utama yang mengharuskan setiap masyarakat toraja untuk menggapainya, antara lain: - Sugi' (Kaya) - Barani (Berani) - Manarang (Pintar) - Kinawa (memiliki nilai-nilai luhur, agamis, bijaksana) Keempat pilar di atas tidak dapat di tafsirkan secara bebas karena memiliki makna yang lebih dalam daripada pemahaman kata secara bebas. Seorang toraja menjadi manusia yang sesungguhnya ketika dia telah memiliki dan hidup sebagai Tau

B.       Saran
Sebenarnya Indonesia memiliki ragam kebudayaan dan suku-suku di dalamnya, tetapi banyak masyarakat yang tidak mengenal kebudayaan apa saja yang ada dinegerinya. Salah satu contohnya adalah Toraja, suku yang berdiam di provinsi Sulawesi Selatan ini memiliki banyak kebudayaan-kebudayaan yang unik. Dari mulai suku-suku, bahasa, adat perkawinan, upacara adat kematian, makanan khas, dan objek wisata yang beragam dan unik.

3 komentar: