BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Berbicara
mengenai Suku Toraja tentu dalam benak kita terbayang sebuah etnik suku yang
memiliki rumah panggung besar dengan atap menyerupai moncong perahu dan upacara
adatnya yang melibatkan banyak orang untuk terlibat dan reputasinya pada hari
ini telah mengarungi banyak negara. Daya tarik yang berasal dari khasanah
kebudayaannya, arsitektur tradisional yang inspiratif serta kaya makna, dan
keagungan prosesi adatnya menjadikan Tana Toraja memiliki nilai-nilai tersendiri
yang pada hari ini banyak diminati oleh wisatawan untuk mengunjungi daerah
tersebut. Hal ini diperkuat dengan kearifan lokal yang nilai-nilainya masih
dijalankan oleh masyarakat sekitar Tana Toraja. Suku Tana Toraja yang pada hari
ini masih mendiami daerah pegunungan masih mempertahankan gaya hidup
Austronesia yang asli dan cenderung memiliki kemiripan dengan budaya yang ada
di Nias.
Pada
hari ini diperkirakan populasi masyarakat suku toraja telah mencapai sekitar
satu juta jiwa. Sekitar 50% dari total jumlah masyarakat Suku Toraja masih
tinggal di Kabupaten Tana Toraja dan kabupaten tetangga seperti Kabupaten
Toraja Utara dan Kabupaten Mamasa sisanya banyak masyarakat yang berasal dari
Suku Toraja yang kini telah menetap di kota-kota lainnya di Sulawesi dan tidak
sedikit juga yang merantau keluar Sulawesi. Kepercayaan yang dianut oleh
sebagian besar masyarakat Toraja adalah Kristen. Sementara sebagian ada yang
menganut agama Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal dengan Aluk To Dolo.
1
|
Secara
historis banyak yang meyakini bahwa Suku Toraja berasal dari Teluk Tongkin yang
berada di daratan cina. Seorang Anthtropolog bernama DR.C. Cyrut meyakini bahwa
masyarakat Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk lokal
Sulawesi Selatan atau pribumi dengan pendatang dari teluk tongkin tersebut.
Berawalnya akulturasi antara masyarakat pribumi dengan pendatang ini dari
berlabuhnya imigran indo cina dengan jumlah yang dapat dikatakan cukup banyak
di sekitar hulu sungai yang pada hari ini diperkirakan letak lokasinya berada
di daerah Kabupaten Enrekang. Bangsa cina yang memang dikenal akan kebiasaannya
bermigrasi segera membangun pemukiman di daerah tersebut untuk kemudian
membangun sebuah peradaban baru.
Nama
Toraja sendiri sebenarnya merupakan kata dari Bahasa Bugis yaitu to riaja yang
mana berarti “orang yang berdiam di negeri atas”. Identitas mereka yang pada
hari ini kita ketahui bernama Toraja merupakan pemberian dari perintah kolonial
belanda yang memberikan nama itu pada tahun 1909. Versi lain menyebutkan
bahwasannya kata Toraja awal mulanya bernama toraya. Kata tersebut merupakan
gabungan dari dua kata yaitu “to” yang berarti orang dan “raya” yang berasal
dari kata maraya yang berarti besar. Artinya jika digabungkan menjadi suatu
padanan makna orang-orang besar atau bangsawan. Seiring dengan berputarnya roda
kehidupan lama-lama penyebutan nama Toraya berubah menjadi Toraja. Sementara
itu kata Tana yang berada di depan kata Toraja memiliki arti sebuah negeri.
Sehingga pada hari ini tempat pemukiman Suku Toraja dinamai Tana Toraja atau
negeri tempat orang-orang besar berada.
Sebelum
masuknya pengaruh kolonial Belanda dan kristenisasi, di Tana Toraja memiliki
sebuah pakem yang cukup jelas mengenai identitas diri mereka sebagai sebuah
kelompok. Suku Toraja yang tinggal di daerah dataran tinggi memiliki sebuah
identitas pengenalan diri yang diklasifikasikan bedasarkan asal desa mereka dan
satu sama lain tidak merasa sama jika mereka bukan berasal dari kelompok desa
yang sama. Meskipun ritual-ritual yang diadakan di tiap desa identik dan
menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam segi
dialek, hierarki sosial, dan macam-macam praktik ritual di daerah tersebut.
Pemberian
nama Toraja banyak diduga mulanya merupakan pemberian oleh suku bugis
Sindengreng dan Luwu. Orang dari Suku Sindengreng menamakan penduduk daerah
yang bermukim di daerah dataran tinggi dengan sebutan to riaja yang berarti
“orang yang berdiam di pegunungan” sementara orang-orang yang berasal dari suku
bugis luwu menyebutnya dengan to riajang yang memiliki arti “orang yang berdiam
di sebelah barat”.
B. Gambaran Umum
Tana
Toraja terletak di tengah-tengah pulau Sulawesi, salah satu pulau besar
berbentuk bintang laut di antara Pulau Kalimantan (Borneo) dan Papua, Indonesia.
1.
Geografis
Melihat
Suku Toraja sejenak Secara geografis, Komunitas Suku Toraja bertempat tinggal
pada pegunungan di bagian utara sulawesi selatan. Lebih spesifik pada letaknya, Suku Toraja terletak di kabupaten Tana Toraja
yang terletak dalam satuan kepemerintahan Provinsi Sulawesi Selatan yang
mana memiliki ibukota bernama Makale. Pada tahun 2007 kabupaten ini memiliki
jumlah populasi sebanyak 248.607 jiwa. batas-batas geografis Kabupaten Tana
Toraja di utara berbatasan dengan Kabupaten Mamuju, dan sebelah timur
berbatasan dengan Kabupaten Luwu, lalu pada sebelah selatan berbatasan dengan
Kabupaten Enkerang, sementara pada sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten
Mamasa.
Berada
pada zona waktu indonesia tengah, Secara klimatologi Kabupaten Tana Toraja
termasuk kedalam daerah yang beriklim Tropis Basah. Hal ini secara kasar bisa
kita ketahui melihat letak keberadaan tempat yang berada di daerah pegunungan.
Dalam segi temperatur udara, suhu di Tana Toraja berkisar antara 150
c – 280 c dengan kelembaban udara yang berkisar antara 82 – 86 %.
Curah hujan rata-rata di Tana Toraja berada pada kisaran 1500 mm/thn sampai
lebih dari 3500 mm/thn.
2.
Iklim & Cuaca
Tana
Toraja beriklim tropis. Musim hujan terjadi pada bulan Oktober - Maret sedangkan
musim kemarau terjadi pada bulan April - September. Perubahan iklim dunia dan
pengaruh pemanasan global sedikit mempengaruhi pola iklim di Tana Toraja dalam
satu dekade terakhir, namun pola dan masa tanam padi yang hampir seluruhnya
mengandalkan air hujan tetap belum berubah. Curah hujan tertinggi biasanya
terjadi pada Desember hingga Januari. Terdapat juga daerah yang hampir selalu
terselimuti kabut sepanjang hari di perbatasan dengan daerah Teluk Bone.
3.
Fauna & Flora
Anoa,
babi rusa, dan burung maleo adalah binatang khas pulau sulawesi, namun hanya
babi rusa dan anoa yang sempat dicatat pernah ditemukan di Toraja. Itupun saat
ini sulit memastikan keberadaan satwa langka tersebut di wilayah Tana Toraja.
Orang toraja beternak babi, ayam kampung, dan kerbau dimana terdapat varietas
kerbau belang (albino) yang hingga saat ini dipercaya hanya lahir dan besar di
Tana Toraja. Burung elang, bangau, dan kakaktua juga pernah hidup bebas di Tana
Toraja namun kini populasinya semakin terancam.
C. Fokus Objek yang Diteliti
Kete’
Kesu merupakan wisata pavorit terletak di provinsi Sulawesi Selatan kawasan
kabupaten Toraja. Kelompok 1 memfokuskan penelitian di kampung Kete’ Kesu
yaitu: Upacara pemakaman
(rante), area kuburan, area pemukiman
yang terdiri dari rumah Tongkonan (rumah adat suku Toraja), ekonomi, persepsi
dan perilaku masyrakat setempat serta agama yang berperan di Toraja.
D. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang dan objek yang diteliti,
maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.
Bagaimana
seluk beluk kampung Kete’ Kesu?
2.
Bagaimana
sejarah kampung Kete’ Kesu?
3.
Bagaimana
persepsi masyarakat terahadap kampung Kete’ Kesu?
4.
Apa
hubungan antara objek wisata dengan faktor ekonomi, budaya, Nasional, agama dan
Politik Nasional.?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Seluk Beluk Kete’ Kesu
Kete’ Kesu adalah suatu desa wisata di kawasan Tana
Toraja yang dikenal
karena adat dan kehidupan tradisional masyarakat dapat ditemukan di kawasan
ini.Di dalam Kete Kesu terdapat peninggalan purbakala berupa kuburan batu yang
diperkirakan berusia 500 tahun lebih. Di dalam kubur batu yang menyerupai sampan atau perahu tersebut, tersimpan sisa-sisa
tengkorak dan tulang manusia. Hampir semua kubur batu diletakkan menggantung di
tebing atau gua. Selain itu, di beberapa tempat juga terlihat kuburan megah milik
bangsawan yang telah meninggal dunia.
Terletak 4 km di bagian tenggara Rantepao, Kete Kesu terdiri dari padang rumput dan
padi yang mengelilingi rumah adat Tana Toraja, yaitu Tongkonan. Sebagian rumah adat yang terletak di desa
ini diperkirakan berumur sekitar 300 tahun dan letakknya berhadapan dengan
lumbung padi kecil.[4] Tidak hanya terdiri dari 6 Tongkonan dan 12
lumbung padi, Kete Kesu juga memiliki tanah seremonial yang dihiasi oleh 20
menhir. Di dalam salah satu Tongkonan terdapat museum yang berisi koleksi benda
adat kuno Toraja, mulai dari ukiran, senjata tajam, keramik, patung, kain dari
Cina, dan bendera Merah Putih yang konon disebutkan merupakan bendera pertama
yang dikibarkan di Toraja. Selain itu, di dalam museum ini juga terdapat pusat
pelatihan pembuatan kerajinan dari bambu.[6] Masyarakat yang hidup di desa ini umumnya
memiliki keahlian sebagai pemahat dan pelukis, sehingga selain sebagai objek
wisata, tempat ini juga dimanfaatkan untuk menjual berbagai pahatan dan
suvernir tradisional Toraja.
6
|
B. Sejarah
Kete’ Kesu
Kete
Kesu terletak di Desa Bonoran, sekitar 4 kilometer dari Kota Rantepao, Tana Toraja , Sulawesi Selatan.
Upacara adat sering digelar di desa ini. Tempat ini ditetapkan sebagai cagar
budaya oleh UNESCO. Mengapa bisa ditetapkan sebagai cagar budaya? Tentu karena
Kete Kesu punya keunikan budaya yang tak dimiliki tempat lain dan wajib
dilestarikan.
Kete Kesu memang unik. Begitu memasuki
perkampungan, berderet tongkonan dan alang sura yang
saling berhadapan. Tongkonan adalah rumah adat Toraja, sedangkan alang sura
merupakan lumbung padi. Tongkonan-tongkonan di Kete Kesu memiliki ukiran yang
indah. Tanduk kerbau berderet di depannya, menandakan tingginya status sosial
si pemilik rumah.
Tongkonan dan alang sura dimiliki secara
turun temurun. Tongkonan-tongkonan di Kete Kesu sudah tua, bahkan ada yang
diperkirakan berumur sekitar 300 tahun. Atapnya yang terbuat dari susunan bambu
sudah ditumbuhi rumput liar. Namun, pemiliknya sengaja tidak membersihkannya.
Rumput ini bisa berguna untuk mencegah kebocoran dari air hujan.
Selain deretan tongkonan dan alang sura, kita
juga bisa melihat ukiran dan pahatan patung di Kete Kesu. Beberapa penduduk
desa memang ahli mengukir dan memahat patung. Mereka juga terbiasa membuat tau-tau , patung yang digunakan untuk
upacara pemakaman dalam adat Toraja. Mereka juga sering menggunakan keahlian
untuk mengukir peti mati dan rumah adat. Di belakang deretan tongkonan, ada
kompleks pemakaman yang berdinding batu kapur. Konon, makam-makam tua di sini
berumur hingga 700 tahun. Tulang-tulang dan tengkorak berserakan di dalam gua
dan di sekitar pemakaman. Peti-peti mati atau erong dipahat menyerupai bentuk perahu, kerbau, dan babi. Ada juga
patene atau makam modern yang
berbentuk rumah-rumahan. Puluhan tau-tau yang membisu, terkunci di dalam sebuah
ruangan khusus. Kalau tidak dikunci, ada saja orang yang berniat jahat dan
mencuri tau-tau itu.
Kete Kesu memang salah satu warisan Toraja
yang istimewa. Kete Kesu telah menyimpan banyak cerita tentang budaya Toraja.
C. Persepsi
dan Perilaku Masyarakat Terhadap Kete’ Kesu
Secara sadar atau tidak sadar, masyarakat
toraja hidup dan tumbuh dalam sebuah tatanan masyarakat yang menganut filosofi
tau. Filosofi tau dibutuhkan sebagai pegangan dan arah menjadi manusia
(manusia="tau" dalam bahasa toraja) sesungguhnya dalam konteks
masyarakat toraja. Filosofi tau memiliki empat pilar utama yang mengharuskan
setiap masyarakat toraja untuk menggapainya, antara lain: - Sugi' (Kaya) -
Barani (Berani) - Manarang (Pintar) - Kinawa (memiliki nilai-nilai luhur,
agamis, bijaksana) Keempat pilar di atas tidak dapat di tafsirkan secara bebas
karena memiliki makna yang lebih dalam daripada pemahaman kata secara bebas.
Seorang toraja menjadi manusia yang sesungguhnya ketika dia telah memiliki dan
hidup sebagai Tau.
Masyarakat
suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai
sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelum penjajahan Belanda
dan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah dataran tinggi,
dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan sebagai kelompok yang
sama. Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada
banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di
kawasan dataran tinggi Sulawesi.
"Toraja" (dari bahasa pesisir to, yang berarti orang, dan Riaja,
dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah
untuk penduduk dataran tinggi. Akibatnya, pada awalnya "Toraja" lebih
banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang luar, seperti suku Bugis
dan suku
Makassar, dan suku Mandar
yang menghuni sebagian besar dataran rendah di Sulawesi daripada dengan sesama
suku di dataran tinggi. Kehadiran misionaris
Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah
Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di
Tana Toraja.
Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama suku Bugis
(meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan pelaut), suku
Mandar (pedagang, pembuat kapal dan pelaut), dan suku Toraja (petani di dataran
tinggi).
D. Hubungan Antara Objek Wisata dengan Faktor
Ekonomi, Budaya Nasional, Agama, dan Politik Nasional
Adapun hubungan antara Objek Wisata dengan
berbagai faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan suku Toraja akan
kami jelaskan di bawah ini.
1.
Faktor Ekonomi
Sebelum masa Orde Baru, ekonomi
Toraja bergantung pada pertanian dengan adanya terasering di lereng-lereng gunung dan bahan
makanan pendukungnya adalah singkong dan jagung. Banyak waktu
dan tenaga dihabiskan suku Toraja untuk berternak kerbau, babi, dan ayam yang
dibutuhkan terutama untuk upacara pengorbanan dan sebagai makanan. Satu-satunya
industri pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja.Dengan
dimulainya Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai berkembang dan
membuka diri pada investasi asing. Banyak perusahaan minyak dan pertambangan Multinasional membuka usaha baru di Indonesia.
Masyarakat Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang berpindah untuk bekerja
di perusahaan asing. Mereka pergi ke Kalimantan untuk kayu dan
minyak, ke Papua untuk
menambang, dan ke kota-kota di Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini terjadi
sampai tahun 1985.
Kebanyakan masyarakat
Toraja hidup sebagai petani. Komoditi andalan dari daerah Toraja adalah sayur-sayuran,
kopi, cengkeh, cokelat dan vanili. Pereknonomian di
Tana Toraja digerakkan oleh 6 pasar tradisional dengan sistem perputaran setiap
6 hari. Ke-enam pasar yang
ada ialah:
1)
Pasar Makale
2)
Pasar Rantepao
3)
Pasar Ge'tengan
4)
Pasar Sangalla'
5)
Pasar Rembon
6)
Pasar Salubarani
2. Budaya
Nasional
Toraja ditetapkan sebagai cagar budaya oleh
UNESCO. Mengapa bisa ditetapkan sebagai cagar budaya? Tentu karena Kete’ Kesu
mempunyai keunikan budaya yang tak dimiliki tempat lain dan wajib dilestarikan.
a. Rumah Adat Toraja (Kete’ Kesu)
Toraja
tidak pernal lepas dari perbincangan masyrakat tentang budaya mereka yang
ditinjau dari rumah adat Toraja. Di bawah ini kami akan menjelaskan aspek-aspek
yang menjadi kesimpulan kami tentang rumah adat Toraja dari segi apa itu
tongkonan, bagaimana dan apa struktur dan bahan bangunan rumah tongkonan serta bagaimana ornament warna dan ukiran rumah
adat Toraja.
1)
Tongkonan
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja
(Kete’ Kesu) yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran
berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari
bahasa Toraja (Kete’ Kesu) tongkon ("duduk").
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial
suku Toraja (Kete’ Kesu). Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah
penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja (Kete’ Kesu) oleh karena itu
semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan
hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut cerita rakyat Toraja (Kete’
Kesu), tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur
suku Toraja (Kete’ Kesu) turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar
upacara yang besar.
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang
melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis
tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan
sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik
anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat
dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu.
Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya
rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di
Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun
tongkonan yang besar.
Rumah
Tongkonan dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:
a)
Kolong (Sulluk Banua)
b)
Ruangan rumah (Kale Banua)
c)
Atap (Ratiang Banua), bentuknya melengkung
mirip tanduk kerbau. Pada
sisi sebelah barat dan timur bangunan terdapat jendela kecil untuk sirkulasi
udara dan masuknya cahaya matahari.
Latar
belakang arsitektur Rumah Tradisional Toraja (Kete’ Kesu) berkaitan dengan
falsafah kehidupan yang merupakan landasan dari kebudayaan orang Toraja (Kete’
Kesu) itu sendiri. Dalam pembangunan Rumah
Adat Tongkonan ada hal-hal yang mengikat atau hal yang di haruskan dan
tidak boleh di langgar, yaitu: Rumah harus menghadap ke utara, letak pintu di
bagian depan rumah, dengan keyakinan bumi dan langit merupakan satu kesatuan
dan bumi dibagi dalam 4 penjuru mata angin, yaitu:
a)
Utara disebut Ulunna langi, yang paling mulia di mana Puang Matua berada
(keyakinan masyarakat Toraja (Kete’ Kesu))
b)
Timur disebut Matallo, tempat metahari terbit, tempat asalnya kebahagiaan atau
kehidupan.
c)
Barat disebut Matampu, tempat metahari terbenam, lawan dari kebahagiaan atau
kehidupan, yaitu kesusahan atau kematian.
d)
Selatan disebut Pollo’na langi, sebagai lawan bagian yang mulia, tempat melepas
segala sesuatu yang tidak baik / angkara murka
2)
Struktur dan Bahan Bangunan Rumah Tongkonan
Kayu
yang
digunakan adalah kayu Uru, jenis
kayu lokal dari Sulawesi.
Kualitasnya sangat baik dan kayu tersebut banyak ditemui di hutan-hutan.
Pada umumnya sistem
struktur yang dipakai untuk bangunan Tongkonan adalah sistem konstruksi pasak (knock down)
Beberapa keistimewaan tongkonan di Ke’te’ Kesu’ adalah:
a)
Katik, bagian depan bentuknya agak berbeda yaitu bentuknya panjang
dan ramping.
b)
Sedangkan tiang kolom, untuk tongkonan yang tertua berjumlah 7
buah, berjajar pada bagian lebar bangunan. Tiang kolom pada alang seluruhnya
berjumlah 8 buah, dengan 2 kolom berjajapada bagian lebar bangunan dan 4 kolom
ke arah belakang/ bagian panjang bangunan.
c)
Bangunan/Tongkonan yang tertua mempunyai struktur bangunan yang
lebih rendah daripada tongkonan yang baru dengan bentuk tiang kolom empat
persegi.
Bentuk dari Tongkonan
dapat dibagi menjadi:
a) Bagian kolong rumah
(sulluk banua)
(1)
Pondasi: pondasi yang digunakan adalah dari batuan
gunung, diletakkan bebas di bawah Tongkonan tanpa pengikat antara tanah, kolom
dan pondasi itu sendiri.
(2)
Kolom/tiang (a’riri): tiang terbuat dari kayu
uru, sedangkan untuk alang digunakan kayu nibung, sejenis pohon palem. Bentuk
kolomnya persegi empat, pada alang bentuknya adalah bulat. Perbedaan bentuk
tersebut menunjukkan perbedaan dari fungsi bangunan, yaitu Tongkonan untuk
manusia, sedangkan alang untuk barang (padi). Penggunaan kayu nibung
dimaksudkan agar tikus tidak dapat naik ke atas, karena serat kayu ini sangat
keras dan sapat sehingga terlihat licin.
(3)
Balok: sebagai pengikat antara kolom-kolom digunakan
balok-balok, dengan fungsi seperti sloof, yang dapat mencegah terjadinya
pergeseran tiang dengan pondasi. Hubungan balok dengan kolom digunakan
sambungan pasak, disini tidak dipergunakan sambungan paku/baut. Bahan yang
digunakan adalah kayu uru. Jumlah baloknya ada 3 buah, sedangkan pada alang
hanya 1 buah, yaitu sebagai pengikat pada bagian bawah. Tangga menggunakan kayu
uru.
b) Bagian Badan rumah
(1)
Lantai: pada
Tongkonan terbuat dari papan kayu uru yang disusun di atas pembalokan lantai.
Disusunya pada arah memanjang sejajar balok utama. Sedangkan untuk alang
terbuat dari kayu banga.
(2)
Dinding: pada
Tongkonan dinding disusun satu sama lain dengan sambungan pada sisi-sisi papan
dengan pengikat utama yang dinamakan Sambo Rinding. Dinding yang
berfungsi sebagai rangka menggunakan kayu uru atau kayu kecapi. Sedangkan
dinding pengisinya menggunakan kayu enau.
c) Bagian kepala
(1)
Atap: pada Tongkonan terbuat dari bambu-bambu pilihan
yang disusun tumpang tindih yang dikait oleh beberapa reng bambu dan diikat
oleh tali bamboo/rotan. Fungsi dari susunan demikian adalah untuk mencegah
masuknya air hujan melalui celah-celahnya. Fungsi lain adalah sebagai
ventilasi, karena pada Tongkonan tidak terdapat celah pada dindingnya. Susunan
bambu di taruh di atas kaso yang terdapat pada rangka atap. Susunan tampak
(overstek) minimal 3 lapis, maximal 7 lapis, setelah itu disusun atap dengan
banyak lapis yang tidak ditentukan, hanya mengikuti bentuk rangka atap sehingga
membentuk seperti perahu. Fungsi dari Tolak Somba adalah untuk
menunjang/menopang agar Longa tidak runtuh/turun. Sangkinan Longa adalah
sebagai keseimbangan dari Longa. Semakin panjang Longanya maka jumlah Sangkinan
Longanya pun semakin banyak.
(2)
Dinding: susunanya seperti dinding pada bagian kepala
badan.
d) Bagian Tata Ruang Dalam
Pola tata ruang dalam pada badan
rumah (Kale Banua) pada Tongkonan di Kete’ terbagi atas 3 ruang utama.
Ruang-ruang tersebut mempunyai fungsi sesuai dengan urutan daru Utara ke
Selatan, masing-masing:
(1)
Tangdo: ruang ini terletak di sebelah Utara berfungsi
sebagai ruang tidur nenek, kakek, dan anak laki-laki. Ruang ini terletak di
Utara karena pengawasan terhadap anggota keluarga lebih terjaga. Orang
tua/kakek-nenek sebagai orang yang dituakan. Jendela pada ruang Tangdo
berjumlah 2 buah yang menghadap Utara. Peil lantai pada ruang Tangdo sama
dengan ruang sumbung dan tidak terdapat ornamen.
(2)
Sali: ruang ini terletak di tengah bangunan yang
berfungsi sebagai ruang tamu, dapur, wc, tempat/ruang persemayaman jenazah, dan
ruang keluarga Ruang Sali: yang diperbolehkan masuk hanya kerabat dekat dari
keluarga dan tetua-tetua adat. Pada ruang Sali ini dindingnya berwarna hitam,
disebabkan oleh jelaga yang timbul pada waktu memasak dan asap yang berasal
dari tungku, jelaga ini bermanfaat sebagai bahan pengawet kayu.
(a)
WC: terbuat dari batu yang berbentuk oval dan agak cekung, lalu
diberi lubang, terletak di sebelah Timur, di samping kanan tungku. WC ni
berfungsi untuk buang air kecil bagi ibu-ibu dan anak-anak di malam hari.
(b) Ruang persemayaman
jenazah: ruang Sali ini berfungsi juga sebagai ruang persemayaman jenazah di
letakan disini menunggu urusan yang ditinggalkan si mati selesai.
(c)
Peletakkan pintu masuk di sebelah Utara atau Timur karena nenek
moyang mereka berasal/dating dari arah Utara, juga arah angin yang dating
selalu dari arah Utara, Utara mempunyai arti kebaikan. Pintu yang terletak
disebelah Timur mempunyai arti kebahagiaan dan keceriaan disesuaikan dengan
arah terbitnya matahari, dari sebelah timur. Fungsi pintu selain sebagai tempat
keluar masuk manusia/penghuni juga dipakai sebagai jalan keluar bagi jenazah
pada saat pemakaman.
(d) Sumbung: fungsinya
sebagai ruang tidur orang tua dan anak-anak yang masih menyusui serta anak-anak
gadis, dan tempat menyimpan alat-alat serta harta pusaka. Peil lantai
ditinggikan, yang menandakan bahwa penghuni Tongkonan mempunyai kekuasaan dan
derajat yang tinggi pada wilayah tersebut. Sumbung berada di Selatan karena
anak gadis dan anak yang masih kecil perlu pengawasan yang ketat, dengan perlindungan
dari anak laki-laki yang bertempat di Tangdo dan orang tua.
3) Ornamen dan Warna
Motif-motif ornament
pada bangunan Toraja (Kete’ Kesu) mengambil bentuk-bentuk dasar: hewan,
tumbuhan dan benda langit, demikian pula di Kete’ Kesu’ ini.
a) Motif hewan melambangkan
kekuatan dan kekuasaan, contoh: Ayam jantan: berkokok jam 5 pagi melambangkan
kehidupan dan kepala kerbau: menunjukan prinsip yang kokoh.
b) Motif tumbuhan
melambangkan kemakmuran, contoh: Lumut: menandakan sawah sebagai sumber
kehidupan
c) Motif benda langit
melambangkan kekuasaan Tuhan, contoh: Matahari: sebagai sumber cahaya (terang)
dalam kehidupan
Sedangkan warna dasar
(kasemba) terdiri dari 4 warna, yaitu:
a) Merah: berani berkorban
b) Kuning: keagungan
c) Hitam: berani berbuat
baik
d) Putih: mandiri
Jumlah motif ornament
yang umum digunakan sekarang kurang lebih 74 jenis, akrena motif-motif yang
lain dianggap terlalu berat untuk digunakan/diamalkan. Contoh: Pa Kadang Sepru
(beras) melambangkan putusnya hubungan kekerabatan.
4)
Ukiran kayu
Ukiran kayu Toraja (Kete’ Kesu): setiap panel
melambangkan niat baik. Untuk
menunjukkan kosep keagamaan dan sosial, suku Toraja (Kete’ Kesu) membuat ukiran
kayu dan menyebutnya Pa'ssura (atau "tulisan"). Oleh karena
itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja (Kete’ Kesu).
Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya
adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya
tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan. Gambar kiri
memperlihatkan contoh ukiran kayu Toraja (Kete’ Kesu), terdiri atas 15 panel
persegi. Panel tengah bawah melambangkan kerbau atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu
keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel tengah melambangkan simpul dan kotak,
sebuah harapan agar semua keturunan keluarga akan bahagia dan hidup dalam
kedamaian, seperti barang-barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak
bagian kiri atas dan kanan atas melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat
dan bekerja keras, seperti hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini juga
menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil
yang baik.
Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri
umum dalam ukiran kayu Toraja (Kete’ Kesu) (lihat desain tabel di bawah),
selain itu ukiran kayu Toraja (Kete’ Kesu) juga abstrak dan geometris. Alam
sering digunakan sebagai dasar dari ornamen Toraja (Kete’ Kesu), karena alam
penuh dengan abstraksi dan geometri yang teratur.[21] Ornamen Toraja (Kete’ Kesu) dipelajari dalam ethnomatematika
dengan tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun suku Toraja (Kete’
Kesu) membuat ukiran ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri. Suku Toraja
(Kete’ Kesu) menggunakan bambu untuk membuat oranamen geometris.
b.
Upacara Pemakaman
Dalam masyarakat Toraja (Kete’ Kesu), upacara
pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya
dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal.
Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang
besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ratusan orang
dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang
disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas,
selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan
berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang
ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan
merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja (Kete’ Kesu)
tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan
orang kelas rendah. Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah
berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang
bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan
cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja
(Kete’ Kesu) percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan
tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya
(dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan
disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa
sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan
ke Puya.
1)
Sebuah
Makam
Bagian lain dari pemakaman adalah
penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih.
Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok.
Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya,
yang sedang dalam "masa tertidur". Suku Toraja (Kete’ Kesu) percaya
bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih
cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan
kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para
pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging
tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap
sebagai utang pada keluarga almarhum.
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat
disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut
biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa
daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga.
Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan
menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di
sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk
dan membuat petinya terjatuh.
2)
Upacara
Pemakaman Rambu Solo
Rambu Solo adalah upacara adat
kematian masyarakat Tana Toraja (Kete’ Kesu) yang bertujuan untuk menghormati
dan mengantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam roh, yaitu
kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah tempat peristirahatan,
disebut dengan Puya, yang terletak di bagian selatan tempat
tinggal manusia. Upacara ini sering juga disebut upacara penyempurnaan
kematian. Dikatakan demikian, karena orang yang meninggal baru dianggap
benar-benar meninggal setelah seluruh prosesi upacara ini digenapi. Jika belum,
maka orang yang meninggal tersebut hanya dianggap sebagai orang “sakit”
atau “lemah”, sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya orang hidup,
yaitu dibaringkan di tempat tidur dan diberi hidangan makanan dan
minuman, bahkan selalu diajak berbicara.
Oleh karena itu, masyarakat setempat
menganggap upacara ini sangat penting, karena kesempurnaan upacara ini
akan menentukan posisi arwah orang yang meninggal tersebut, apakah
sebagai arwah gentayangan (bombo), arwah yang mencapai tingkat dewa (to-membali
puang), atau menjadi dewa pelindung (deata). Dalam konteks
ini, upacara Rambu Solo menjadi sebuah “kewajiban”, sehingga
dengan cara apapun masyarakat Tana Toraja (Kete’ Kesu) akan
mengadakannnya sebagai bentuk pengabdian kepada orang tua mereka yang
meninggal dunia.
Kemeriahan upacara Rambu Solo
ditentukan oleh status sosial keluarga yang meninggal, diukur dari jumlah
hewan yang dikorbankan. Semakin banyak kerbau disembelih, semakin tinggi
status sosialnya. Biasanya, untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau yang
disembelih berkisar antara 24-100 ekor, sedangkan warga golongan menengah
berkisar 8 ekor kerbau ditambah 50 ekor babi. Dulu, upacara ini hanya
mampu dilaksanakan oleh keluarga bangsawan. Namun seiring dengan perkembangan
ekonomi, strata sosial tidak lagi berdasarkan pada keturunan atau
kedudukan, melainkan berdasarkan tingkat pendidikan dan kemampanan
ekonomi. Saat ini, sudah banyak masyarakat Toraja (Kete’ Kesu) dari
strata sosial rakyat biasa menjadi hartawan, sehingga mampu menggelar
upacara ini.
Bagi
masyarakat Tana Toraja (Kete’ Kesu),
orang yang sudah meninggal tidak dengan sendirinya mendapat gelar orang mati.
Bagi mereka sebelum terjadinya upacara Rambu
Solo’ maka orang yang meninggal itu dianggap sebagai orang sakit. Karena
statusnya masih ‘sakit’, maka orang yang sudah meninggal tadi harus dirawat dan
diperlakukan layaknya orang yang masih hidup, seperti menemaninya, menyediakan
makanan, minuman dan rokok atau sirih.
Hal-hal
yang biasanya dilakukan oleh arwah, harus terus dijalankan seperti biasanya.
Jika keluarga si mati itu belum mampu melaksanakan upacara Rambu Solo, jenazah
itu akan disimpan di tongkonan (rumah adat Toraja (Kete’ Kesu)) sampai pihak
keluarga mampu menyediakan hewan kurban untuk melaksanakan upacara tersebut.
Penyimpanan jenazah itu bisa memakan waktu bertahun-tahun.
Setelah
pihak keluarga mampu menyediakan hewan kurban tersebut, barulah Rambu Solo
dilaksanakan. Jenazah dipindahkan dari rumah duka ke tongkonan tammuon
(tongkonan pertama tempat dia berasal). Di sana dilakukan penyembelihan 1 ekor
kerbau sebagai kurban atau dalam bahasa Toraja (Kete’ Kesu)nya Ma’tinggoro
Tedong, yaitu cara penyembelihan khas orang Toraja (Kete’ Kesu), menebas kerbau
dengan parang dengan satu kali tebasan saja. Kerbau yang akan disembelih
ditambatkan pada sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batu. Setelah itu,
kerbau tadi dipotong-potong dan dagingnya dibagi-bagikan kepada mereka yang
hadir.
Jenazah
berada di tongkonan pertama (tongkonan tammuon) hanya sehari, lalu keesokan
harinya jenazah akan dipindahkan lagi ke tongkonan yang berada agak ke atas
lagi, yaitu tongkonan barebatu, dan di sini pun prosesinya sama dengan di
tongkonan yang pertama, yaitu penyembelihan kerbau dan dagingnya akan
dibagi-bagikan kepada orang-orang yang berada di sekitar tongkonan tersebut.
Seluruh
prosesi acara Rambu Solo’ selalu
dilakukan pada siang hari. Siang itu sekitar pukul 11.30 Waktu Indonesia Tengah
(Wita), kami semua tiba di tongkonan barebatu, karena hari ini adalah hari
pemindahan jenazah dari tongkonan barebatu menuju rante (lapangan tempat acara
berlangsung). Jenazah
diusung menggunakan duba-duba (keranda khas Toraja (Kete’ Kesu)). Di depan
duba-duba terdapat lamba-lamba (kain merah yang panjang, biasanya terletak di
depan keranda jenazah, dan dalam prosesi pengarakan, kain tersebut ditarik oleh
para wanita dalam keluarga itu).
Prosesi
pengarakan jenazah dari tongkonan barebatu menuju rante dilakukan setelah
kebaktian dan makan siang. Barulah keluarga dekat arwah ikut mengusung keranda
tersebut. Para laki-laki yang mengangkat keranda tersebut, sedangkan wanita
yang menarik lamba-lamba.
Dalam
pengarakan terdapat urut-urutan yang harus dilaksanakan, pada urutan pertama
kita akan lihat orang yang membawa gong yang sangat besar, lalu diikuti dengan
tompi saratu (atau yang biasa kita kenal dengan umbul-umbul), lalu tepat di
belakang tompi saratu ada barisan tedong (kerbau) diikuti dengan lamba-lamba
dan yang terakhir barulah duba-duba.
Jenazah
tersebut akan disemayamkan di rante (lapangan khusus tempat prosesi
berlangsung), di sana sudah berdiri lantang (rumah sementara yang terbuat dari
bambu dan kayu) yang sudah diberi nomor. Lantang itu sendiri berfungsi sebagai
tempat tinggal para sanak keluarga yang datang nanti. Karena selama acara
berlangsung mereka semua tidak kembali ke rumah masing-masing tetapi menginap
di lantang yang telah disediakan oleh keluarga yang sedang berduka.
Iring-iringan
jenazah akhirnya sampai di rante yang nantinya akan diletakkan di lakkien
(menara tempat disemayamkannya jenazah selama prosesi berlangsung). Menara itu
merupakan bangunan yang paling tinggi di antara lantang-lantang yang ada di
rante. Lakkien sendiri terbuat dari pohon bambu dengan bentuk rumah adat Toraja
(Kete’ Kesu). Jenazah dibaringkan di atas lakkien sebelum nantinya akan
dikubur. Di rante sudah siap dua ekor kerbau yang akan ditebas.
Setelah
jenazah sampai di lakkien, acara selanjutnya adalah penerimaan tamu, yaitu
sanak saudara yang datang dari penjuru tanah air. Dilanjutkan dengan hiburan
bagi para keluarga dan para tamu undangan yang datang, dengan mempertontonkan
ma’pasilaga tedong (adu kerbau). Bukan main ramainya para penonton, karena
selama upacara Rambu Solo’, adu hewan
pemamah biak ini merupakan acara yang ditunggu-tunggu.
Selama
beberapa hari ke depan penerimaan tamu dan adu kerbau merupakan agenda acara
berikutnya, penerimaan tamu terus dilaksanakan sampai semua tamu-tamunya berada
di tempat yang telah disediakan yaitu lantang yang berada di rante. Sore
harinya selalu diadakan adu kerbau, hal ini merupakan hiburan yang digemari
oleh orang-orang Tana Toraja (Kete’ Kesu) hingga sampai pada hari penguburan.
Baik itu yang dikuburkan di tebing maupun yang di patane’ (kuburan dari kayu
berbentuk rumah adat).
c. Musik
dan Tarian
Suku Toraja (Kete’ Kesu) melakukan tarian dalam
beberapa acara, kebanyakan dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk
menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah
almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat.
3. Agama
Agama
dalam suku Toraja dapat diambil pengertian dari dua aspek yaitu perseps dan
pandangan masyarakat serta Dekrit Presiden:
a) Persepsi
dan Pandangan Masyrakat
Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja
adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk,
atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam
mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh
suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta. Alam
semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia
(bumi), dan dunia bawah.Pada awalnya,
surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul
cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk
persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat
manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana.
Dewa-dewa
Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo'
Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi
pengobatan), dan lainnya.
Kekuasaan di
bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam
upacara pemakaman, disebut to
minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem
kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk
mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata
cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum
yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus
dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan
jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan. Kedua ritual
tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak
diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan
melakukan ritual kematian. Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan
hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.
b) Dekrit Presiden
Pada
tahun 1930-an. Konflik tidak luput menyelimuti tana toraja yang mana kali ini
melibatkan penduduk muslim yang bertempat tinggal di daerah dataran rendah
dengan para penduduk toraja. Akibat dari insiden ini banyak orang toraja yang
memilih untuk beraliansi dengan pemerintah kolonial belanda guna meraih
kemenangan atas penduduk muslim yang notabenenya juga merupakan terhitung
sebagai musuh belanda pada masa itu. akibat aliansi ini banyak penduduk toraja
yang akhirnya memilih untuk mengganti kepercayaan mereka menjadi kristen dalam
rangka meraih aliansi dengan belanda serta mendapat perlindungan politik supaya
bisa melakukan perlawanan balik terhadap orang-orang bugis dari Makassar yang
bergama Islam.
Pada
periode antara tahun 1951 sampai 1965 setelah kemerdekaan indonesia Sulawesi
Selatan mengalami kekacauan yang dipicu oleh pemberontakan Daarul Islam yang
bertujuan untuk mendirikan negara islam di tanah Sulawesi. Perang gerilya yang
berlangsung selama 15 tahun tersebut memiliki andil yang cukup besar mengapa
perkembangan agama kristen di toraja semakin menunjukan peningkatan yang cukup
signifikan.
Dekrit
President yang diterbitkan pada tahun 1965 yang mengharuskan seluruh penduduk
Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen
Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja (aluk to dolo)
tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekrit tersebut.
Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari
salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian
dari Agama Hindu Dharma.
4. Politik Nasional
Bidang politik di Tana Toraja
mencakup desa tradisional maupun kehidupan perkotaan kontemporer dan mencakup
upacara ritual dan strategi pembangunan tingkat kabupaten. Di suatu daerah
dimana era kolonial berlangsung hanya empat dekade, di mana agama pribumi terus
menjadi yang dominan, dan di mana prestise dan otoritas bangsawan bertahan
sampai sekarang, ritual agama tradisional dan status hubungan mewarnai semua
aspek dari masyarakat kontemporer (Crystal 1974, hal 121).
Kutipan ini berasal dari seorang
antropolog Amerika yang mengaitkan situasi politik yang berlangsung pada awal
tahun 1970-an di Tana Toraja, sebuah kabupaten atau distrik di provinsi
Sulawesi Selatan. Setelah periode depoliticizing (pendepolitisasian) kebiasaan
dan tradisi masyarakat setempat oleh rezim Orde Baru, maka ha itu tidak
mengejutkan bahwa hukum desentralisasi di Indonesia tahun 1999 menyebabkan atau
menimbulkan kebangkitan umum atas kebiasaan dan tradisi di Tana Toraja. Bahkan,
adat (yang menunjukkan kebiasaan dan tradisi) menjadi faktor utama pada saat
dimunculkannya undang-undang desentralisasi nasional yang harus dilaksanakan di
kabupaten Tana Toraja pada tahun 2001. Pada tingkat desa, DPRD Tana Toraja
mengeluarkan peraturan hukum yang menentukan reorganisasi wilayah dan struktur pemerintahan,
yang bertujuan untuk melakukan pembentukan kembali lembang. Lembang,
merupakan satuan politik dan administrasi pemerintah yang lebih besar dari desa
di masa Orde Baru dan diduga telah ada sebelum pemerintahan kolonial Belanda
muncul mendesain kembali sturuktur kembali pemerintahan daerah di Tanah Toraja.
Lembang mencakup wilayah geografis dari sekelompok masyarakat karena
ikatan generasi yang memiliki asal-usul leluhur yang sama dan berbagi
seperangkat hukum sosial-budaya dan nilai-nilai serta bentuk tradisional
organisasi pemerintahan. "Pelaksanaan unit otonom ini cukup jauh dalam
mencapai upaya menggerakkan kaum elit tradisional - yang telah terpinggirkan
oleh UU No 5 / 1974 dan UU No 5 / 1979 – dalam bentuk tindakan, ketika mereka
mulai bersaing untuk suatu posisi kepemimpinan lembang.
Sejalan dengan "kembalinya
batas-batas yang ditentukan oleh adat kebiasaan dan tradisi”, pada tingkat yang
lebih tinggi, kelompok tertentu di Toraja telah berjuang untuk adanya subdivisi
distrik Tana Toraja di sebuah distrik, yakni distrik utara, selatan dan barat.
"Sekali lagi, pembagian ini diduga berhubungan dengan organisasi sosial
politik tradisional yang ada sebelum kedatangan pemerintahan kolonial Belanda.
Kebijakan desentralisasi politik dan pemerintahan di Tana Toraja diberlakukan
oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2001 yang dikembangkan menjadi dua proses
yang berlawanan kemunculannya yakni: penggabungan pada suatu tingkat desa (lembang)
dan fragmentasi di tingkat kabupaten (Donzelli 2002/2003, hal 35).
Hal itu sebenarnya bukan yang
pertama kalinya dalam sejarah Tana Toraja bahwa adat istiadat setempat dan
bentuk tradisi pemikiran untuk revisi/perbaikan struktur wilayah dan struktur
pemerintah. Karena Belanda telah mengambarkan wilayah Tana Toraja ke dalam
wilayah administratif dan memperkenalkan organisasi pemerintahan yang modern
pada awal tahun 1900, revisi struktur wilayah dan struktur pemerintah sebagian
besar diikuti dengan perubahan sturuktur pemerintahan nasional dan kekuasaan
daerah yang ditanamkan oleh system adat setempat. Meskipun tingkat integrasi adat
ke dalam bidang politik mungkin telah berubah sepanjang satu abad lalu, kedua
domain tersebut tidak pernah benar-benar terpisah dari satu sama lain (lihat
Tabel 11.1).
Namun, sebuah sintesis yang
memuaskan antara organisasi pemerintahan bentuk modern dan bentuk pemerintah
tradisional tidak pernah dicapai di Tana Toraja. Upaya untuk memperkenalkan
pemerintah daerah otonom dengan parlemen yang dipilih secara demokratis dalam
sebuah hierarkis tradisional dan hierarkis sosial masyarakat yang bertingkat
selalu gagal. Usaha ini berhasil dengan kebijakan-kebijakan yang lebih
sentralistis dan kebijakan yang otoriter. Sebagai persoalan fakta, terus
menjadi semacam dualisme administratif: di satu sisi, sistem pemerintahan
disutradarai oleh undang-undang dan prinsip-prinsip yang diberikan oleh
pemerintah pusat, dan di sisi lain, sistem pemerintahan tradisional yang
didasarkan pada aturan adat dan peraturan. Oleh karena itu, dalam arena
politik kabupaten, tokoh adat Toraja dan pengikut mereka telah bersaing dengan
kelompok elit lainnya yang “baru lahir“ yang memperoleh kekuasaan sebagai wakil
dari nasionalisme, sosialisme/komunisme atau konservatisme ideologis, atau
melalui gereja, militer, atau hanya dengan dukungan uang. Seperti revisi
teritori dan pemerintah, pelebaran dan penyempitan ruang manuver politik untuk
masing-masing pihak yang tergantung pada kekuatan dan perubahan kebijakan di
tingkat nasional.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara sadar atau tidak sadar, masyarakat toraja hidup dan
tumbuh dalam sebuah tatanan masyarakat yang menganut filosofi tau. Filosofi tau
dibutuhkan sebagai pegangan dan arah menjadi manusia (manusia="tau"
dalam bahasa toraja) sesungguhnya dalam konteks masyarakat toraja. Filosofi tau
memiliki empat pilar utama yang mengharuskan setiap masyarakat toraja untuk
menggapainya, antara lain: - Sugi' (Kaya) - Barani (Berani) - Manarang (Pintar)
- Kinawa (memiliki nilai-nilai luhur, agamis, bijaksana) Keempat pilar di atas
tidak dapat di tafsirkan secara bebas karena memiliki makna yang lebih dalam
daripada pemahaman kata secara bebas. Seorang toraja menjadi manusia yang
sesungguhnya ketika dia telah memiliki dan hidup sebagai Tau
B.
Saran
asikke tulisanya
BalasHapuskebetulan tugas juga ini dari pak kammarudin moha
BalasHapusrasanya,seperti anda menjadi ironmen
BalasHapus